Barangkali tidak terfikir, bahwa setiap kali kita berbuat dosa, kita menyumbang satu nilai buruk bagi lingkungan. Secara kolektif , nilai tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan diri kita. Tentu saja juga terhadap generasi setelah kita, sehingga perbuatan dosa, seringan apapun ia, harus dilihat sebagai sebuah kendala strategis, penyiapan generasi yang kuat.
Itu secara implisit dicontohkan oleh segudang kisah sahabat Rasullullah. Umar bin khathab ra,memilihkan istri buat anaknya, dari golongan wanita yang takut berbuat dosa. Kisah populer sang wanita, anak penjual susu, membuktikan kualitas generasi selanjutnya adalah sekelas Umar bin Abdul Aziz ra.
Demikian pula Umar bin Abdul aziz ra, di penghujung hidupnya ditanyakan tentang warisan yang ditinggalkan untuk anak-anaknya. Dia berkata, “Aku tidak meninggalkan warisan kepada mereka selain ilmu yang bermanfaat, hingga jika mereka beriman mereka baik dengannya, dan jika mereka kufur, Alloh tidak menuntutku, karena aku tidak meninggalkan harta untuk kekufuran mereka.” Selalu menjadikan dosa sebagai kekhawatiran kondisi generasi setelah mereka.
Konteks tersebut diatas menyadarkan kita tentang bagaimana generasi terdahulu memandang perbuatan dosa. Cara berfikir dengan menggunakan prespektif kolektif sebagai dasar pertimbangan begitu dominan. Bahwa dosa akan membentuk lingkungan hidup yang buruk bagi pertumbuhan diri sendiri dan generasi selanjutnya. Sesuatu yang hari ini mungkin hanya sedikit yang memikirkannya.
Tegas dijelaskan dalam hadits Rasullullah saw, bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrahnya yang suci, lalu faktor lingkungan yang akan menentukan nilai diri anak tersebut selanjutnya. Untuk itulah Rasullullah saw menekankan pentingnya memperhatikan kondisi lingkungan tersebut.
Termasuk hak seorang anak untuk memiliki Ibu yang sholehah, nama yang baik dan pendidkan keimanan yang cukup. Sehingga menjadi tanggung jawab sang Ayah memilihkan Ibu yang baik untuk anaknya, memberi nama yang baik, dan menjaga proses pertumbuhannya dengan pendidikan yang lurus. Ini semua menutup peluang toleransi terhadap dosa, sekecil apapun. Diatas sikap inilah bisa diletakkan harapan akan lahirnya generasi yang kuat.
Sayang sekali, semua warisan sejarah tersebut tidak mampu melahirkan kesadaran kolektif untuk menjaganya. Konteks kehidupan kita hari ini telah melupakan hal tersebut. Kita menghitung parameter pendidikan hanya berdasar nilai material semata. Itu terlihat dari minimnya porsi pendidikan mentalitas spiritual dalam kehidupan kita. Baik secara formal di lembaga pendidikan, apalagi informal dalam kehidupan sosial kita. Dampaknya adalah realitas kehidupan yang kita jalani hari ini.
Bahkan dalam lembaga pendidikan, kita disuguhi pemandangan ironis dengan istilah uang bangku, uang gedung, dan beragam jenis istilah lainnya. Sejak awal telah memulai proses pendidikan dengan mengundang murka Alloh. Maka tidak perlulah kita heran melihat produk pendidikan sekolah dengan label islam sekalipun.
Diluar itu semua, dalam realitas sosial kita, maksiat ditawarkan dengan megah dan gempita. Bahkan terkadang anda mesti bayar mahal untuk itu. Kasus rusaknya generasi dengan data-data yang mencegangkan begitu akrab dengan kita. Namun belum cukup untuk menegtuk dinding kesadaran. Tetap saja tontonan dan bacaan tidak berpihak pada pembentukan lingkungan tumbuh yang sehat. Mungkin karena itu pula kita tidak perlu heran, ketika lahir usulan-usulan untuk melegalkan perbuatan dosa. Sebab memang sudah menjadi sesuatu yang biasa. Baik kecil maupun yang tergolong besar.
Realitas yang mengundang komentar sederhana, bahwa dosa dalam lingkungan kita hari ini telah menjadi budaya. Sebuah nilai hidup yang disepakati secara kolektif,terpaksa atau tidak. Kemudian menjadi rujukan karakter dengan pertannyaan, “ Yang ‘begitu’ kan memang sudah umum.lagian semua orang juga melakukannya.”
Membangun Generasi
Seorang ibu pernah menggoreskan kekhawatirannya di sebuah media. Malam sebelumnya sang Ibu menyaksikan di salah satu stasiun TV swasta, tayang tentang kehidupan malam metropolitan. Sebuah realitas yang sarat dengan nilai yang -menurut sang Ibu- buruk. Hebatnya realitas tersebut dikemas dengan demikian memikat. Menghadirkan sebuah kenyataan yang ironis. Dosa dijual dengan demikian menarik dan mewah.
Kekhawatiran sang ibu bermuara pada wajah suci anak putrinya yang polos. Bahwa kesucian itu akan berbenturan dengan realitas ironis lingkungannya. Di dalam rumah,dalam wilayah kekuasaannya, mungkin tidak masalah. Namun di luar itu, ketika sang buah hati harus melangkahkan kakinya,di situlah keresahan sang ibu memuncak. Bagaimanakah ia akan menjaga pendidikan anaknya dalam lingkungan hidup yang demikian tidak mendukung. Dalam keresahan itulah ia terlelap.
Kesadarannya kembali bersama hari baru, oleh senandung sholawat.Terlantun dari mulut mungil si buah hati. Membuatnya tersenyum dan bersyukur. Bahwa bagaimanapun nilai pertama yang dikenal anaknya adalah contoh terbaik kehidupan, Rasullullah saw.
Kisah tersebut mewakili keresahan-mudah-mudahan- banyak ibu hari ini. Keresahan akan dihadapinya dlam mendidik generasi. Betapa jebakan-jebakan dosa yang membudaya dan begitu memikat, akan menjadi kendala-kendala pertumbuhan anak-anaknya. Kekhawatiran akan sulitnya mendapatkan anak-anak sholeh yang menjadi harta hidupnya sepanjang zaman. Kekhawatiran akan pertanggung jawaban dihadapan Alloh tentang amanah buah hati yang menjadi rezkinya. Serta keresahan-keresahan lainnya.
Seharusnya, perasaan seperti itulah yang mendapatkan perhatian dan dimiliki oleh para pemimpin bangsa. Sebab mereka tidak saja menjadi orang tua bagi anak-anak kandungnya. Melainkan orang tua bagi generasi bangsa ini. Merekalah yang pertama kali dimintai tanggung jawab tentang semua wajah generasi hari ini.
Itulah mengapa, sangat wajar ketika sekelompok ibu begitu berang merespon kebijakan pemimpin yang justru melegalkan perbuatan dosa. Tidak saja menyinggung perasaan para Ibu, bahkan mengancam semua upaya pendidikan yang telah dengan berat dibangun oleh mereka.
Kasus judi menjadi potret kebodohan para pemimpin. Menjadi gambaran bagaimana rendahnya visi generasi yang dimiliki para pemimpin. Sekaligus memperlihatkan tanggung jawab mereka yang minim terhadap lahirnya generasi yang kuat.
Setiap kita harus mengembalikan keresahan generasi sahabat akan kelalaian. Betapa mereka begitu gundah, meskipun hanya sedikit kelengahan . Mereka bahkan menebus kelengahan tersebut dengan tebusan-tebusan yang mahal menurut kita hari ini.
Bagaimana sahabat Rasullullah mengikhlaskan harta kekayaan yang melalaikannya dari menyembah Alloh . baik berupa barang niaga, kebun kurma, hewan ternak, atau yang lainnya. Sebagai bentuk muaqobah dari hal-hal yang sangat biasa bagi kita hari ini. Salah satu diantaranya ialah terlambat menjalankan sholat berjamaah di mesjid Rasullullah. Maka terbayanglah kepada kita, betapa hampir mustahilnya mereka membiarkan diri, keluarga dan lingkungannya secara sadar melakukan kelengahan yang lebih besar dari itu. Wajarlah kiranya ketika Alloh menjadikan mereka sebagai generasi terbaik sejarah kehidupan.
Kini menjadi tanggung jawab kita untuk tidak mengulang kesalahan yang ada. Cukuplah bagi kita semua ini menjadi pelajaran sejarah yang baik. Untuk kita tetapkan sendiri wajah generasi kita. Menjadi generasi yang jauh lebih bersih.Generasi yang takut kepad Alloh SWT, Generasi yang menjaga dirinya dari kelalaian, generasi yang mulia dengan kemuliaan, bukan dengan keingkaran. Generasi baru, meskipun kita terbentuk dalam proses demikian buruk.
Wallohu a’lam bishowwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar